Menggores Pena di Lembar Berikutnya

Hari itu, mereka menjadi raja dan ratu seharian dalam sebuah pesta pernikahan yang sederhana.

Menjelang malam, setelah menyelesaikan beberapa urusan kecil yang tersisa, mereka masuk ke dalam sebuah kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka berdua. Mereka duduk bersebelahan di sebuah ranjang. Saling berdiam.

Merasa tidak nyaman karena saling berdiam, suami mulai membuka pembicaraan, “Sayangku”, yang kemudian dijawab dengan tolehan wajah istri, “Tolong kunci kamar baru kita.” Istri menjawab dengan menjalankan perintah dari suaminya.

“Malam ini, aku akan bercerita banyak hal padamu. Aku tahu bahwa semua manusia pernah mendapatkan sebuah getaran rasa dalam jiwa terhadap seseorang yang ia jumpa.”

Malam semakin gelap, dan mereka berdua semakin larut dalam pembicaraan penuh cinta sebagai permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang akan mereka lalui. Begitu menikmati perbincangan hangat yang semakin dalam dan romantis. Letih yang harusnya mereka dapatkan menjadi lenyap seketika.

Pembicaraan itu terus berlanjut hingga pada suatu titik, dimana mereka bersepakat untuk membicarakan masa lalu, segala hal, untuk tujuan terciptanya rasa saling memahami dan saling mengasihi. Tentang derita, tentang cita, orang yang dibenci, orang yang disukai, tentang visi, tentang misi, kelebihan, kekurangan, kesukaan, ketidaksukaan, tentang dunia, hingga asmara.

Keduanya saling menitipkan amanah, saling percaya seutuhnya, hingga akhirnya mereka masuk pada poin tentang cinta.

“Sayangku, sepanjang hidup ini, aku pernah berproses dengan enam belas wanita, atau mungkin lebih.” sambil menyunggingkan senyum usil pada istrinya, “Dan semuanya adalah wanita luar biasa.” imbuhnya.

“Seperti yang kau tahu, bahwa aku memiliki kriteria seorang pendamping yang memiliki visi, misi, dan obsesi terhadap Quran, begitu juga orangtuaku. Dari enam belas wanita yang pernah berproses itu, semuanya memiliki modal yang lebih dari cukup tentang Quran mereka.”

“Ada beberapa diantaranya yang secara prestasi akademis memiliki sederet gelar yang jauh lebih unggul darimu, Cintaku. Ada juga yang prestasi Qurannya jauh mengunggulimu, Sayangku.”

Sang istri terlihat sedikit merubah mimik wajahnya.

“Tapi, selalu ada saja alasan yang Allah munculkan untuk akhirnya proses munakahat itu tidak pernah sampai.”

“Kau tahu maksudku, kau telah lama mengenalku, kau telah banyak mengetahui tentang mimpi-mimpiku, kau juga telah mengetahui banyak hal tentang pola pikirku, dan semua itu telah kau ketahui jauh sebelum aku berhak memanggilmu dengan panggilan sayang.”

“Kasih, ini bukan tentang membandingkan yang satu dengan yang lain. Karena aku percaya semua manusia memiliki derajat yang sama. Kau sama baiknya dengan mereka, begitu sebaliknya, dan aku yakin bahwa Allah telah memilihkan masing-masing diantara hambaNya tentang jalan yang akan ditempuh.”

“Mereka akan menemukan laki-laki yang Allah pilihkan, dan aku telah diamanahkan seorang wanita yang Ia pilihkan.”

“Mereka semua adalah yang terbaik, memiliki kelihaian dan modal masing-masing untuk terjun ke medan dakwah, dan kita semua adalah orang-orang yang telah memilih untuk menggadaikan darah perjuangan di jalanNya.”

“Tanpa perlu saling mengetahui, kita semua saling mendoakan satu sama lain.”

Suami berhenti sejenak dengan pembicaraannya, kemudian dilanjutkan lagi dengan suara yang lebih pelan dan dalam,

“Mereka akan Allah pertemukan dengan orang yang juga akan memilih untuk mengabdikan dirinya di medan juang.”

“Di bumi Allah ini, kita semua memiliki cita-cita dan harapan yang sama.”

“Kejayaan Islam, dan Firdaus A’la. Itu lah cita-cita tertinggi setiap manusia beriman. Tidak ada yang lain.”

Suami mengakhiri percakapan malam itu dengan menatap wajah istrinya secara lebih dalam.

Istri memberikan senyum pada laki-laki yang duduk di sebelahnya. Ia mengerti tentang poin apa yang sedang dibicarakan, ia merasa semakin teguh dan memahami bahwa perjalanannya nanti bukanlah untuk menikmati kesenangan. Ia tahu bahwa cinta yang saat ini ia rasakan hanyalah sebagian kecil dari luasnya nikmat Allah ta’ala. Masih banyak PR yang harus ia kerjakan demi mengubah makna cinta pada hakikat yang sesungguhnya.

* * *

Sejak pertama kali berjumpa dengan laki-laki yang kini menjadi Qawwam baginya, ia tahu bahwa dia adalah laki-laki cemerlang dengan sederet pemikiran yang gemilang.

Getaran dalam jiwanya semakin melunjak. Rasa syukurnya semakin menjadi. Sebuah episode yang tak pernah terbesit dalam pikirannya bahwa Allah akan memilihkan seseorang yang telah lama ia kenal, seseorang yang menjadi salah satu sumber inspirasi baginya untuk terus berbenah, dan kini orang itu memanggilnya dengan panggilan sayang. Malam itu, ia benar-benar merasakan gempuran rasa yang bercampur aduk.

Dan sebagai epilog yang suci, mereka berdua menutup malam itu dengan doa, sholat dua rakaat, dan ritual paling indah sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ritual yang di dalamnya terdapat segudang pahala dan berbagai makna dari sebuah rasa cinta.

“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, terdapat tanda-tanda kebesaran bagi kaum yang berfikir.”

Yakin Ngga Mau Komen?