Suami di Luar, Istri di Dalam

Wuh, sudah lama tidak menulis di blog ini. Pasca lebaran ini adalah waktu yang agak free buat saya sekaligus bisa saya manfaatkan untuk menulis opini-opini yang sebenernya selama ini sering sekali berseliweran di kepala.

Saya sudah 4 tahun lebih menjalani rumah tangga, Alhamdulillah, tapi produksi tulisan saya mengenai kehidupan rumah tangga masih jarang saya tumpahkan di blog ini. Ya barangkali tulisan kali ini bisa memberi sedikit gambaran dan pelajaran buat para pembaca, baik yang sudah ataupun belum berkeluarga.

Sebagai prolog, saya ingin mengutip kata-kata Ibu Hasri Ainun, sosok wanita bijak yang pernah menjadi ibu negara Indonesia.

“Kalau istri banyak ngomel, rewel dan cerewet, suami jadi tidak luwes bergaul. Akhirnya, tidak bisa maju dalam pekerjaan. Suami harus terbebas dari keruwetan rumah tangga agar bisa leluasa berpikir tentang pekerjaan.” (Ainun Habibie)

Yap, perempuan (istri) yang bisa menahan diri untuk tidak cerewet, untuk tidak rewel, dan bisa menahan diri untuk tidak ngomel, sangat jarang ada di muka bumi. Perempuan seperti ini sangat langka, dan beruntunglah suami yang diamanahkan istri seperti ini, seperti pak Habibie misalnya.

Saya sering menceritakan pada orang-orang di sekitar saya ketika mereka bertanya tentang pernikahan atau rumah tangga. Saya menjelaskan bahwa 1 tahun pertama pernikahan adalah waktu yang sangat menguras hati untuk menyamakan frekuensi.

Suami Perlu Berkumpul dengan Kawan-kawannya, Jangan Dilarang

Ada istri yang kalau suaminya keluar sebentar saja sudah ‘khawatir’, padahal pamit keluarnya sudah jelas, mau ketemu dengan siapa juga sudah jelas, tapi tetap saja pikiran istri berkecamuk dengan keluarnya suami dari rumah.

Padahal laki-laki yang sudah menikah itu butuh bertukar pikiran, dan proses ini ngga bisa dilakukan dengan istri, tukar pikiran harus terjadi antar laki-laki, supaya bahasa yang digunakan bisa lebih bebas dan lepas. Alur beripikir yang digunakan saat tukar pikiran itu adalah alur pikiran berbasis logic, yang ini mustahil dilakukan dengan perempuan (istri).

Saya sendiri, ketika bisa bertukar pikiran dengan orang yang juga menyelami dunia yang sama, membuat kepala dan mata jadi berbinar-binar, merasa puas, dan sangat senang. Apalagi ketika ada informasi-informasi baru yang menggelora. Wuh!

Setelah mengetahui hal ini, jadilah perempuan yang lebih bijak. Pahamilah bahwa ini adalah salah satu cara suami kamu bisa berkembang, upgrade diri, sekaligus hiburan di kala suntuk dengan kerjaan dan urusan rumah.

Istri Perlu Rutin Ditemani dan Diajak Belanja ke Pasar

Nah, ini yang jarang suami pahami, mbok ya sesekali kamu sebagai suami yang ngajak istri ke pasar, diantar, dibonceng, ditemani dari satu lapak ke lapak yang lain, dibawain belanjaannya. Kalau pas sudah ada anak ya anaknya juga dibawa sambil diajari (dimong) sama ayahnya, biar istri bisa fokus belanja dan merhatiin suami serta anaknya yang lagi polah di belakangnya.

Eyang saya pernah kasih nasehat, “Perempuan itu seneng diajak ke pasar, belanja. Buat perempuan, ke pasar itu hiburan yang menyenangkan.”

So, buat para suami, jangan pernah pasang muka cemberut atau gelagat tidak senang ketika ada sinyal-sinyal mau berangkat ke pasar. Tidak harus setiap hari, yang penting rutin dan selalu dalam keadaan ceria.

Jangan Pernah Ganggu Suami dengan Urusan Rumah Tangga

“Ayah, tolong cebokin Farid yaa..” biasanya istri meminta tolong saya untuk menjalankan pekerjaan ini. Ini menjadi wajar kalau tugas semacam ini hanya sesekali dan tetap dalam kesadaran bahwa tugas ini adalah murni tugas istri.

Yang menjadi tidak wajar adalah ketika derajatnya disamakan. Suami harus mau dan harus siap kapan saja men-cebok-i anaknya. Ya, ini menjadi tidak wajar. Laki-laki tidak bisa ditempatkan di posisi ini.

Cebok untuk anak hanya salah satu contoh dari urusan rumah tangga. Hal-hal semacam masak, cuci piring, cuci baju, mandiin anak, yaah, saya dan istri sepakat bahwa ini memang tugas utama seorang ibu. Sekalipun di internet sekarang banyak beredar kalimat-kalimat mempesona yang mengajak para ayah untuk ikut terjun turun gunung.

Ingat ya, yang perlu digaris-bawahi di sini adalah urusan rumah tangga adalah tugas utama istri. Tapi bukan berarti ini menjadi alasan bagi suami untuk tidak bisa ceboki anak, ganti baju anak, sapu-pel-sulak, masak, dan semacamnya.

Tetap, suami harus punya skill urusan rumah. Yang dengannya bisa membuat siklus harian rumah menjadi lebih terkontrol.

Yang menjadi masalah adalah ketika istri ternyata tidak siap menjadi istri. Dikit-dikit “Tolong cebokin, tolong mandiin, tolong angkatin, tolong jemurin, tolong.. tolong.. tolong.” Sedangkan ia tidak memperhatikan apa yang sedang dilakukan suami saat itu. Ia tidak peduli suami sedang menerima telepon, suami sedang mencatat sesuatu, suami sedang di depan laptop, atau ngutik-ngutik HP.

Yang ada dalam pikirannya adalah tidak mau tahu, pokoknya segera tolong! Kalau perlu pakai jurus bentakan dengan kekuatan 100 desibel yang cukup untuk menggetarkan lutut suami.

Suami adalah izzah keluarga. Secara psikologi juga tidak bisa seorang laki-laki diperintah begitu saja oleh perempuan. Kalau suami disuruh ini-itu, apalagi dibentak, secara tidak langsung izzah keluarga pudar, dan mental suami menjadi hilang.

Hilang juga pikiran dan jiwanya sebagai seorang imam. He doesn’t care about his family. Semakin sering diperlakukan dengan “tidak layak”, semakin lemah juga kemampuannya dalam memimpin. Sudah sunnatullahnya begitu.

Saya dimintai tolong istri untuk ini-itu, ketika memang benar-benar saya sedang tidak melakukan pekerjaan (oh iya, saya bekerja dari rumah).

Saya mempunyai jam kerja. Pada jam-jam itu, ketika anak menangis ya sudah otomatis istri yang mendiamkan meski saya ada di sampingnya. Ketika anak merengek-rengek ke saya, ya istri yang dengan sigap mengambil dan menenangkan (mengalihkan perhatian). Ketika anak minta diceboki ayahnya, ya istri lagi yang ambil tindakan, meski sesekali saya sendiri melanggar aturan dengan menceboki anak saat jam kerja.

Bahkan, ketika saya sudah selesai dari jam kerja pun, istri mau minta tolong ke saya itu masih mikir-mikir, lihat-lihat sikon, dia membaca raut wajah saya apakah saya sedang serius pada sesuatu, atau sedang santai. Yang dia sendiri juga berusaha dengan hati-hati menggunakan kalimat yang diatur/ditata saat meminta tolong pada saya.

Kata-kata yang seolah bukan kalimat perintah, bukan kalimat seorang makmum yang memerintah imam. Selalu diawali dengan “bisa minta tolong bla bla bla..?”

Kalimatnya seringkali kalimat tanya. Bijak. Dia memberi pilihan bagi saya untuk menerima dan menolak permintaan tolongnya. Disertai intonasi yang lemah-lembut. Sebagai seorang laki-laki, menolak permintaan dengan kalimat yang semacam itu adalah pantangan.

Tentu saja kalimat ini akan berbeda jika to the point “gantian cebokin Farid dong!”

Di keluarga saya, hal-hal semacam ini berlaku untuk semua hal urusan rumah tangga. Bahkan, saya sendiri lupa, kapan terakhir kali saya cuci baju, setrika, nyapu, pel. Saya cuma ingat cebokin anak, mandiin anak, kadang-kadang diminta bantu jemur pakaian. Itu saja. Selebihnya sangat-amat-jarang-sekali.

Karena kami sadar dan sepakat bahwa tugas-tugas ini memang sudah dibagi.

Jangan Pernah Libatkan Istri dengan Urusan Kerja Kantor/Proyek/Dinas

Kalau kamu (para suami) sedang pusing dengan kerjaan yang kamu hadapi saat ini, simpan kepusingan kamu itu untuk diri kamu sendiri. Jangan pernah menceritakan masalah itu di rumah (di dalam keluarga).

Karena kalau kamu ceritakan, istri juga belum tentu bisa memberikan solusi. Yang ada malah istri jadi stress. Karena perempuan menggunakan perasaan dalam menghadapi masalah.

Nah, ini yang tadi saya bilang bahwa istri harus memberikan keleluasaan pada suami untuk intens bertemu dengan kawan-kawannya di luar. Karena masalah-masalah yang dihadapi suami hanya bisa diceritakan pada sesama laki-laki.

Tinggalkan segala urusan kerja di luar rumah. Ketika kamu sudah masuk ke rumah, ya jadilah seorang suami, jadilah seorang ayah. Mendidik, bercerita, memimpin, dan berencana.

Ayah Wajib Bertemu Anak Setidaknya 15 Menit dalam Sehari

15 menit ini terserah kamu mau seperti apa wujudnya. Mau bermain-main, mau yang serius, mau mandiin, mau cebokin. Pokoknya dalam kegiatan-kegiatan itu ada diskusi dan fantasi yang jujur terhadap anak.

Maksudnya fantasi jujur itu seperti ini;

“Eh, Farid, nanti kalau kita jalan-jalan ke pantai, ada banyak pasir dan air, terus banyak juga burung-burung yang terbang.”

Perhatikan, ada kata-kata nanti. Sesuatu yang diharapkan dan direncanakan, tapi belum tentu bisa diwujudkan. Akan lebih baik kalau ditambah Insya Allah. Dan objek-objek lain yang saya sebut (pasir, air, burung, dll) semua adalah objek-objek yang jujur.

Jadi, di atas adalah contoh fantasi yang jujur. Anak sangat suka dengan cerita dan fantasi.

Yang sering saya temui adalah fantasi dusta. Hanya orangtua tidak kreatif saja yang melakukannya.

“Nanti beli mobil-mobil remote yaa, yang ngebut kayak mobilnya pembalap.”

Mau beli mobil remote padahal di dalam hati tidak ada niatan sama sekali akan benar-benar membelikannya mobil mainan remote, ditambah lagi yang kecepatannya seperti mobil balap. Mustahil. Ini termasuk fantasi dusta. Hindari yang semacam ini.

Intinya, anak-anak suka dengan fantasi. Selama 15 menit waktu yang kamu punya, selalu temani anak-anak dengan cerita dan diskusi fantasi.

Ini hanya sebagian dari apa-apa yang saya dan istri jalani untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik dalam berkeluarga. Saya sih berencana menulis hal-hal lainnya seputar kehidupan rumah tangga, karena menurut saya keluarga adalah institusi dan pondasi dasar terbentuknya generasi-generasi yang gemilang.

3 thoughts on “Suami di Luar, Istri di Dalam”

Yakin Ngga Mau Komen?