Dari Kontrakan ke Kontrakan

Sebelum menikah dulu, saya memang ada plan untuk nantinya ngontrak di beberapa rumah, berpindah-pindah setiap tahun, mungkin dua sampai lima tahun. Ada beberapa alasan mendasar mengapa saya membuat plan seperti ini.

Pertama, sebelum menikah dulu, saya tahu bahwa pola interaksi saya dengan orang-orang di sekitar saya akan sangat berubah. Selain pada mertua dan keluarga dari pihak istri, juga akan ada kehidupan bertetangga di mana saya tidak lagi berstatus sebagai anak/anggota keluarga dalam sebuah keluarga, melainkan menduduki jabatan suami sekaligus kepala keluarga. Posisi saya sudah sejajar dengan para suami dan kepala keluarga yang lain.

Kedua, bagi saya, rumah merupakan tempat yang sangat fundamental dalam membangun karakter kelularga. Semuanya bermula dari rumah. Seperti banyak orang yang melihat rumah dari sudut pandang harga, desain interior, tata letak ruang, dan lokasi geografisnya. Ini hal yang umum dijadikan standar penilaian rumah. Dan saya juga memperhatikan hal itu.

Saya warga baru du Jogja -KTP sudah Jogja- yang membutuhkan banyak penyesuaian baru. Sebelumnya sudah 2 tahun menetap di Jogja, tapi saat itu posisi saya sebagai pencari ilmu, masih ada banyak sisi tentang Jogja yang belum sempat saya pelajari. Termasuk kehidupan masyarakat rumah tangga dan spesifikasi rumah yang saya tulis di atas.

Ketiga, lebih pada idealisme. Saya dan istri sepakat untuk menjadikan rumah sebagai tempat belajar bagi banyak orang. Mulai dari anak-anak hingga dewasa. Ada kepentingan banyak orang juga nantinya.

Keempat, sebagai keluarga yang masih bisa dikatakan baru, perlu ada model pengelolaan dan perencaan keuangan yang ideal. Masing-masing keluarga memiliki pola menejemen yang berbeda. Dan ini akan sangat erat kaitannya dengan aktifitas mingguan. Menyesuaikan aktifitas apa saja yang berulang setiap pekan, dari hari Senin sampai Senin lagi.

* * *

Empat alasan mendasar itulah yang menjadikan saya berpikir untuk tidak langsung atau buru-buru memiliki rumah sendiri. Dengan status sebagai kontraktor, saya bisa lebih mengefisienkan waktu, sambil beraktifitas, sambil mempelajari kultur sosial masyarakat, dan persiapan-persiapan lainnya dalam membangun karakter keluarga.

Dari sini saya bisa melihat aktifitas berulang saya dan istri di Jogja di mana saja, dan bisa menilai lokasi mana yang akhirnya ideal untuk menunjang aktifitas itu.

Dari hal ini saya bisa tahu seperti apa model kamar mandi yang baik, dapur yang nyaman, pencahayaan yang cukup, installasi listrik dan air untuk kebutuhan rumah, dan sebagainya.

Dengan ini saya bisa lebih beradaptasi dengan RT/RW, kehidupan pasar, pengajian bapak-bapak, ronda tengah malam.

Yang pada akhirnya, saat saya dan istri telah sepakat untuk membeli atau membangun rumah, kita sudah tahu di mana lokasi yang pas, dan apa saja yang nantinya dipersiapkan baik di dalam maupun di luar rumah.

* * *

Ini tahun ke dua saya sebagai warga Jogja, dan ini kontrakan kedua yang saya huni. Ada begitu banyak ilmu, pelajaran, dan pengalaman yang saya dan istri peroleh dari kontrakan pertama.

Dari kontrakan pertama dan kedua, setidaknya ada dua perubahan (positif) yang cukup signifikan, yaitu geografis dan masyarakat. Dua hal ini kami merasa jauh lebih nyaman. Untuk lain-lainnya, kurang lebih masih sama, yang Insya Allah akan disempurnakan di kontrakan ketiga dan keempat.

Semuanya bermula dari rumah kami.

Punya pendapat lain tentang tema ini? Mari diskusi di kolom komentar :)

Yakin Ngga Mau Komen?